pelacur yang menjadi pejuang di era soekarno.
"Wanita penghibur", kata-kata ini terasa tabu untuk keluar dari mulut
mereka yang merasa punya kehormatan. Tapi benarkah semua pendapat ini.
Dan adakah kata percaya bila dikatakan bahwa
pelacur ikut andil bagian dalam masa perjuangan kemerdekaan. Saya yakin anda akan serentak
menjawab “Tidak, sekali lagi tidak.” Bila itu jawaban anda lalu
bagaimana anda menanggapi serpihan kisah Bung Karno dengan para wanita
penghibur (pelacur).
Ternyata, para wanita penghibur ikut andil dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Keberatan dengan kalimat itu? Baiklah. Ratusan
pelacur, ya… 670 pelacur kota Bandung, mendukung perjuangan Bung Karno mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Masih ada yang keberatan dengan kalimat itu?
Biar saja. Sebab, Bung Karno sendiri tidak keberatan. Kepada penulis otobiografinya, Cindy Adams,
Bung Karno mengisahkan bagaimana ia mendirikan PNI lantas
merekrut para
pelacur menjadi anggotanya. Tak urung, tercatat 670 pelacur
berbondong-bondong menjadi anggota PNI. Oleh Bung Karno mereka dipuji
sebagai para loyalis sejati, yang mau menjalankan perintah Bung Karno
untuk kepentingan pergerakan.
keputusan kontroversial bung karno
keputusan bung karno itu, bukannya tanpa tentangan.
Pada suatu waktu, ia bahkan bertengkar hebat dengan kawan seperjuangan, Ali Sastroamidjojo
ihwal perempuan lacur di tubuh PNI ini. Berikut ini dialog silang pendapat keduanya…
“Sangat memalukan!
” Ali memprotes.
“Kita merendahkan nama
dan tujuan kita dengan memakai perempuan sunda –kalau Bung Karno dapat
memaafkan saya memakai nama itu. Ini sangat memalukan!
” kecam Ali Sastro bertubi-tubi.
“Kenapa?” sergah Bung Karno seraya menambahkan, “mereka jadi orang
revolusioner yang terbaik. Saya tidak mengerti pendirian Bung Ali yang
sempit!”
“Ini melanggar susila!” Ali terus menyerang.
“Apakah Bung Ali pernah menanyakan alasan mengapa saya mengumpulkan
670 orang perempuan lacur?” tanya Bung Karno dan segera dijawabnya
sendiri, “Sebabnya ialah, karen saya menyadari, bahwa saya tidak akan
dapat maju tanpa suatu kekuatan. Saya memerlukan tenaga manusia,
sekalipun tenaga perempuan. Bagi saya peroalannya bukan bermoral atau
tidak bermoral. Tenaga yang ampuh, itulah satu-satunya yang kuperlukan.”
Ali tak kurang argumen, “Kita cukup mempunyai kekuatan tanpa
mendidik wanita-wanita ini. PNI mempunyai cabang-cabang di seluruh Tanah
Air dan semuanya ini berjalan tanpa anggota seperti ini. Hanya di
Bandung kita melakukan hal semacam ini.”
Bung Karno menjelaskan, “Dalam pekerjaan ini, maka gadis-gadis
pelacur atau apa pun nama yang akan diberikan kepada mereka, adalah
orang-orang penting.” Bung Karno bahkan mengultimatum Ali dengan
mengatakan, “Anggota lain dapat kulepas. Akan tetapi melepaskan
perempuan lacur… tunggu dulu!”
Dengan referensi yang ada di kepalanya, mengalirlah argumen Soekarno yang lain. Ia
menarik contoh Madame de Pompadour, yang disebutnya tak lebih dari
seorang pelacur pada mulanya, tetapi kemudian ia dapat memainkan peran
politik yang penting, bahkan akhirnya menjadi salah satu selir raja
Louis XV antara tahun 1745 – 1750.
Kemudian Bung Karno juga mencuplik kisah Theroigne de Mericourt,
pemimpin besar dari Perancis awal abad ke-19. Bung Karno menunjuk pula
barisan roti di Versailles. “Siapakah yang memulainya?
Perempuan-perempuan lacur,” ujar Bung Karno dengan mantap.
Sampai di situ, Ali Sastroamidjojo tak lagi mendebat. Sekalipun
ekspresi wajahnya belum sepenuhnya menerima, tetapi setidaknya, ia harus
mencari bahan-bahan lain sebelum memulai perdebatan sengit kembali
dengan Bung Karno Terlebih jika itu dimaksudkan untuk “mengalahkan”
Sukarno.
Alkisah… 670
pelacur Kota Bandung, selanjutnya menjadi informan (inforgirl…?)
bagi Bung Karno
sumber:
gondaloe.blogspot.com